SUFI AKADEMIK
Kita pasti bertanya seperti apa sufi akademik itu ? Jawaban sederhananya adalah “pribadi yang berilamu beradab”. Itulah sufi akademik yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan Ulul-albab atau bahasa alamnya seperti padi , kian berisi kian merunduk.
Al-Qur’an secara tegas membicarakan tipe-tipe yang disebut sebagai “sufi akademik” yaitu pribadi yang memiliki dua fakultas dalam dirinya, dzikir dan fikir. (QS Ali Imran :191). Fakultas zikir melahirkan manusia yang Taqrrub Ilallah dengan menjalakan perintahNya dan menjuhi laranganNya. Hasil akhirnya membentuk pribadi yang berakhlak mulia (beradab) orang-orang seperti ini dalam hidupnya dimanapun berada selalu bersyukur memperoleh nikmat dan bersabar menerima ujian/ cobaan. Atau dalam pengertian lain ialah pribadi yang ikhlas dan ridha, jauh dari sifat tamak dan rakus dengan kepuasan sesaat. Fakultas zikir dalam keberadaannya pada pribadi manusia seyogianya membentuk manusia yang beradab dalam kata dan perbuatan. Ini bisa terjadi karena dari hati dan rasa yang tercerahkan dengan zikir dapat menundukkan perilaku yang shalih dalam segala aktivitinya. Atau dengan bahasa lain hati yang selalu berzikir dalam arti mikro pasti menghembus cara laku yang manusiawi yang memanusiakan orang lain. Itulah fakultas zikir dalam aksi kemanusiaan yang mulia, jauh dari berbagai perilaku kezaliman.
Adapun fakultas fikir, dalam rana akademik melahirkan pribadi yang bertanggung jawab dalam kerja akademik, sebagai salah satu tugas pengembangan amanah kekhalifahan. Ciri utamanya adalah melakukan proyeksi pemikiran inilah yang melahirkan karya-karya akademik baik dalam tataran ideal maupun tataran praksis. Konsekuwensi logisnya adalah bagaimana menjaga diri sebagai seorang akademisi baik dalam kehidupan kampus maupun dimasyarakat.
Sufi akademik adalah gabungan potensi pada fakultas zikir dengan fakultas fikir yang bertemu pada integritas pribadi yang shalih secara individual maupun sosial. Mereka seperti inilah dikatakan sebagai kaum beradab dan keberadaannya pada garda terdepan untuk peradaban manusia secara makro. Tipe manusia seperti inilah menjadi kebutuhan peradaban kontemporer khusunya pada masyarakat kampus. Alhasil zikir dan fikir pada manusia itu harus manyatu dan besinergi serta berbanding lurus dengan perilaku kesehariannya dimana dan kapanpun berada.
Pada era Indonesia moderen ini kita membutuhkan sufi akademik untuk mengembalikan wibawa manusia cerdas yang pernah terlibat dalam berbagai skandal kejahatan. Atau dengan pengertian lain bahwa kejahatan kontemporer pada semua lini kehidupan manusia ini kebanyakan dilakukan oleh manusia tamatan perguruan tinggi.
Maka membentuk diri sebagai sufi akademik adalah satu keniscayaan karena yang demikian bisa menjadi solusinya. Ini menjadi penting karena seharusnya dan senyatanya sufi akademik dituntut untuk lebih banyak berbuat ihsan (kebaikan) untuk kemaslahatan umat termasuk dalam profesinya. Disebut penting karena Pertama : Kehadirannya di lembaga kampus dengan tugas mulia sebagai sang pencerah (guru) harus bisa di gugu dan ditiru oleh masyuarakat kampus pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Kedua : Ekspektasi orang tua sebagai anggota masyarakat terhadap dirinya (sang pencerah) sangat tinggi karena membantu orang tua membina putra/putri mereka untuk meraih masa depan dengan baik. Ketiga : Perilaku sang pencerah dimata anak didik juga ikut menetukan sikap dan perilaku anak didik dalam prose belajar/mengajar untuk menjdi bahan investasi generasi terpelajar masa depan. Keempat : Bahwa tugas mulia sang pencerah ini tidak akan sukses secara optimal kalau para sufi akademik ini tidak bertanggung jawab manunaikan kewajiban secara optimal pula.
Berdasarkan keempat hal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa menjadi sufi akademik menjadi sangat penting dan satu keniscayaan. Disamping empat hal tersebut diatas ada satu yang last but not least, yaitu akhlak mulianya sang pencerah. Dalam perspektif ini seorang sufi akademik memiliki integritas pribadi yang tinggi, tidak sombong (arogan) menghargai karya ilmiyahnya dan karya ilmiyah orang lain sebagai bentuk pengakuan kemampuan sesama. Maka, dalam tataran implementasinya adalah bagaimana kita menghargai diri sendiri dan sesama untuk bersama-sama melakukan sesuatu yang terbaik demi kemaslahatan umat/bangsa. Oleh karenanya peran sufi akademik dalam tataran ini sangat penting dan ikut menentukan perjalanan sejarah kemanusiaan masa depan melalui gerbang Pendidikan Tinggi.
Kita tentunya sangat berharap bahwa problematika bangsa yang kian kompleks ini, kehadiran sufi akademik sangat dibutuhkan dan menjadi problem solver (menyelesaikan masalah) bukan sebagai problem maker (membuat masalah). Saya meyakini bahwa sufi akademik dengan tugas dan tanggung jawabnya begitu mulia dan diikuti dengan kepribadiannya mulia pula dapat mengurangi persoalan yang sedang dihadapi oleh umat/bangsa! Dengan demikian cepat atau lambat akan terbangun peradaban baru yang lebih manusiawi sebagai sebagai cita-cita bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Sufi akademik sebagai salah satu anak bangsa dengan profesinya sebagai sang pencerah ikut andil mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan UUD 45. Tugas mulai ini akan bisa menjadi agen perubahan peradaban bangsa bial ilmu dan perilaku mulia berintegritasi dan bersinergi dalam satu kesatuan gerakan yang berperadaban tinggi. Itulah sufi akademik mewujudkan iman dan amal shalihnya dalam kehidupan nyata untuk kemaslahatan umat/bangsa yang tidak boleh dinafikan keberadaan mereka. Tanpa itu suka atau tidak persoalan keumatan / kebangsaan akan menjadi lebih memprihatinkan kita semua.
Bahan Bacaan
M. Qurais Shihab : Wwasan Al-Qur’an Bandung , Mizan cet III Juni 1996
Ali Al –Sayis : Nasyah Al-Fiqh al-ijtihadi wa Atwaruh, Majma’ al-Buhus al-Islamiyah, Mesriyah Al-Qahirah 1970
Said Ramadhan : Al-Buti, dawabith al-maslahah fi al-syariah al-islamiyah, Beirut, Muassasat al-Risalah, wa al-dar al-muttahidah, 2000.
Post Comments