Bermuhammadiyah Sebagai Ibadah
Bermuhammadiyah sekarang berbeda dengan tempo dahulu. Dulu bermuhammadiyah meminta pengorbanan lahir maupun batin, pemikiran, gerakan maupun harta benda pribadi orang Muhammadiyah. Sekarang, alhamdulillah Muhammadiyah melalui amal-usahanya telah memberikan kesjahteraan materi khususnya pada pimpinan dan karyawannya. Dalam perjalanan panjang Muhammadiyah juga terus berfikir dan melakukan kebijakan internal tentang remunerasi pada Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Kebijakan itu adalah wajar, karena Muhammadiyah tidak ingin melantarkan para pejuang di AUM nya.
Sejalan dengan perkembangan zaman dengan berbagai dampaknya, maka salah satu yang menjadi konsentrasi Muhammadiyah adalah memeratakan kesejahteraan dan meningkatnya untuk pimpinan dan karyawan AUM nya. Dan Muhammadiyah merasa nyaman kalau pejuang digarda amal usaha itu sudah dapat menghidupi keluarga mereka. Disinilah ada kepuasan tersendiri dalam ber-Muhammadiyah karena tidak ingin mengorbankan para pejuangnya. Ini adalah sesuatu lazim dan logis dalam sebuah gerakan dalam Muhammadiyah. Dengan demikian gerakan Muhammadiyah semakin maju dan mandiri dalam arti melepaskan ketergantungan pada pihak lain; termasuk para pihak yang ingin mendiktenya. Dan, dengan kemandirian sikap dan kebijakan sendiri untuk lebih memajukan rumah tangganya sendiri.
Persoalan kemudian yang timbul adalah bahwa kesejahteraan diberikan Muhammadiyah itu dapat melipatgandakan militansi perjuangan mereka pada Muhammadiyah? Jawabnya ini sangat bergantung pada niat masing-masing individu untuk apa bekerja di Muhammadiyah. Kalau niat mereka sebagai ibadah, maka ada ketulusan, istiqamah dan militasi berjuang dimana mereka berada. Jika niat mereka hanya sekedar mendapat pekerjaan dan pengahasilan saja, maka itu juga akan mempengaruhi tingkat keikhlasan, ke istiqamahan dan juga militasinya. Artinya pada mereka ini Muhammadiyah harus terus membina mereka agar menjadi pejuang ikhlas dan sebagainya. Mengapa ini menjadi penting untuk diperhatikan Muhammadiyah? Karena dalam banyak kasus di lapangan ditemukan adanya para pihak yang ada di Muhammadiyah hanya untuk mendapatkan pekerjaan saja. Bahkan, keberadaan mereka juga membonsai idiologi Muhammadiyah melalui kewenangan itu. Akhirnya Muhammadiyah seperti kata orang “Tidak ikut makan nangka, tapi kena getahnya”. Kasus-kasus tersebut secara kualitas dapat melemahkan perjuangan Muhammadiyah. Persoalan seperti ini menjadi duri dalam daging buat Muhammadiyah, dan insya Allah pimpinan Persyarikatan dalam berbagai level akan memahami itu.
Muhammadiyah memang memegang teguh sangka baik (husn al-zan) dalam berjuang dan mengurus perjuangan. Tetapi kewaspadaan juga penting menjadi sikap agar tidak masuk lubang yang sama untuk kedua kalinya. Atau dalam bahasa gaul “Silahkan bekerja dalam Muhammadiyah”, tapi jangan ngerjain Muhammadiyah. Hal tersebut dianologkan dengan anak kepada Bapak, maka itu termasuk anak yang “durhaka”, atau kata pantun klasik “Tidak tahu diuntung badan, awak tembaga disangka emas”, atau seperti kaum Suyui’yyah; berpura-pura menolong, tapi menggulung. Maka statement Bang Napi menjadi relevan untuk Muhammadiyah: “Kejahatan terjadi bukan karena ada niat pelakunya, tetapi karena ada kesempatan, karena itu waspadalah-waspadalah-waspadalah”. Bang napi sebenarnya ingin mengajak publik termasuk komunitas Muhammadiyah untuk berhati-hati. Karena sikap ini akan lebih menguntungkan siapa saja termasuk Muhammadiyah. Hanya saja kalau terlalu berlebihan (over acting) dan mengarah pada buruk sangka dan curiga apalagi menuduh tanpa bukti juga harus diwaspadai. Artinya kehati-hatian bagi Muhammadiyah hanya sebagai upaya menjaga lingkungan kerja yang kondusif dan signifikan untuk perjuangan Muhammadiyah kedepannya. Ini penting untuk menjadi pemahaman bersama kita dalam berjuang di Muhammadiyah. Tanpa itu kita akan terpelanting dengan pola permainan orang yang tidak bertanggung-jawab, yang ujung-ujungnya juga ingin merusak Muhammadiyah. Hal tersebut perlu harus menjadi kesadaran kita bersama dalam menjaga kelanjutan perjuangan Muhammadiyah. Dan karenanya, mari menata kembali niat kita untuk lebih tulus ber-Muhammadiyah sebagai ibadah dengan demikian penghargaan (reward) yang kita peroleh tidak saja sebatas materi, malainkan juga saham spiritual berupa pahala disisi Allah swt. Semoga kita bisa.
Post Comments